Gambar by jatman.or.id |
Habibana Luthfi bin Yahya menjelaskan bahwa syariat, tarekat dan hakekat adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan seperti yang tercatat dalam Kitab Jami'ul Ushul al Auliya'. Buah syariat adalah tarekat dan buah tarekat adalah kenyataan.
Seperti misalnya dalam menjalankan syariat kita dituntut untuk mencari rizki. Melalui jalan syariah, kita tahu bahwa rezeki yang kita cari adalah rezeki yang halal. Lalu, dari rizki halal kita bisa membeli nasi untuk dimakan. Namun tidak serta merta nasi bisa langsung disantap. Tentu saja perlu diolah dan dimasak. Setelah diletakkan di meja makan barulah kita bisa makan.
Lalu pertanyaannya, ketika kita makan nasi, apakah kita menemukan zat yang memberi rasa kenyang atau sekadar makan?
Jika tarekat dapat menemukan siapa yang benar-benar memberi makan, pasti nasi yang dimakan akan membawa manfaat. Tapi jia tidak menemukan siapa yang memberi makan, jadi apa yang dimakan dan yang tumbuh dalam darah daging akan membawa kita pada ketidaktaatan. Ini karena kita tidak tahu siapa yang sebenarnya memberi makan.
Perjalanan untuk mengetahui siapa pemberi sejati tidaklah mudah. Contoh paling sederhana adalah kita makan sebutir beras dari beras yang ditanam di ladang. Tidak mungkin sawah menumbuk padi tanpa melibatkan beberapa tangan dalam prosesnya. Dari mencangkul, menebar, membajak dan akhirnya menjadi padi.
Lalu, seberapa pedulikah kita dengan mereka yang sedang berproses?
Oleh karena itu, ketika kita ingin makan, kita perlu membaca doa makan sebagai berikut,
اللَّهُمَّ بارِكْ لَنا فِيما رَزَقْتَنا وَقِنا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Allah berkahilah rizki yang telah kau limpahkan pada kami. Dan peliharalah kami dari azab api neraka”
Doa tersebut menggunakan jamak dhamir muttashil atau mutakallim ma'al ghair (kata ganti orang banyak) "نا" yang artinya kita. Jika kita memahami dan mengetahuinya, kita akan memiliki perhatian yang luar biasa terhadap pengucapan jamak.
Dalam pengucapannya tertulis, "Ya Tuhan, berkatilah kami", bukan "Ya Tuhan, berkatilah aku." Karena shalat itu sebenarnya termasuk orang yang melalui proses menanam hingga orang yang memasak nasi untuk mendapatkan berkah dari doa tersebut.
Dari contoh kecil berupa proses makan nasi saja, kita telah dibimbing oleh tarekat untuk mengenal orang dan sesama. Dan jika kita tahu lebih jauh, maka hanya satu butir beras yang jatuh, kita akan sangat berhati-hati. Karena terkadang dengan sifat arogan, kita menganggap sebutir beras tidak berharga dan mudah kita beli.
Namun, apakah kita bisa membuat nasi meski hanya sebutir? Dari sini kita perlu menghargai sang pencipta. Meski kotor, alangkah baiknya jika disingkirkan. Jika iya, berarti kita tahu siapa yang memberi rasa kenyang. Jika kita tahu siapa yang membuat kita kenyang, insya Allah kita akan dijauhkan dari segala maksiat.
Sumber: jatman.or.id